۞ السَّــــــلاَمُ عَلَيْــــــكُمْ
وَرَحْمَــةُ اللــــهِ وَبَرَكَاتُــــــــــهُ ۞
۞ بســـــــــــــم اللّـــه
الرّحمٰن
الرّحيـــــــــــــم
۞
-----------------------------------------------------------------------
Menurut Kakek Lahasa (Tomaitawiya), diceritakannya kepada puteranya Abdullah (Tomaiyaro), kemudian diceritakan Abdullah (Tomaiyaro) kepada kami, bahwa sejak beliau berhenti jadi Totua nu Ngata (Kepala Kampung) Kalukubula, beliau diangkat sebagai Totua nu Ada. Beliau bertugas sebagai Totua nu Ada yang ditunjuk oleh Magau Dolo Datupamusu, meskipun tinggalnya di Kalukubula yang waktu itu menjadi Wilayah Magau Sigi Biromaru.
Beliau menceritakan, bahwa Siga adalah pengikat kepala, bukan hanya sekedar sebagai penutup kepala seperti Toru, atau penutup kepala lain, yang saat itu wajib dikenakan oleh semua Totua nu Ada, maupun Totua nu Ngata. Tidak ada pengecualian untuk penggunaan Siga, karena sangat tergantung pada kesiapan yang ada. Tidak ada penjelasan mengenai warna, dan jenis apapun kain yang digunakan untuk mengikat kepala, bahkan waktu itu masih ada juga yang menggunakan kain dari Kulit Kayu. Semua yang digunakan untuk mengikat kepala, itulah yang disebut Siga, Dan adapula dari Ngata/Boya/Soki (Kampung) lain yang menyebutnya Higa, dll.
Tidak ada larangan bagi Masyarakat Adat lainnya yang menggunakan Siga, tergantung dari kesiapan dan persiapan dari warga itu sendiri. Hanya saya pada waktu itu tidak seorangpun yang berani memakai Siga yang sama persis seperti Magau. Bukan karena adanya larangan, atau ancaman sanksi Givu, tetapi adalah bentuk penghargaan dan penghormatan warga kepada sang Magau.
Dahulu juga kalangan bangsawan maupun masyarakat biasa (masyarakat adat) sangat sulit mendapatkan kain tenun, sehingga digunakan pada waktu itu kain dibuat dari kulit kayu. Ukuran yang digunakan sebagai Siga belum beraturan, sehingga bentuknya sangat berbeda-beda.
Dalam sejarah, sekitar abad ke-7 di Kerajaan Swiwijaya, masyarakat sudah banyak menggunakan kain tenun sebagai ikat kepala. Ukurannya kecil hanya sebesar sapu tangan, atau dalam bahasa Kaili Ledo disebut Pasapu (Sapu tangan). Pasapu mulai digunakan sebagai pengikat kepala yang disebut Siga. Pasapu mulai dikenal dalam keadatan Kaili, namun sebenarnya itu kemungkinan kesamaan penggunaan kata dengan masyarakat adat di kerajaan Gowa, yang menyebutnya itu sebagai Passapu.
Hadirnya jenis penutup kepala ini
tidak terlepas dari budaya Melayu yakni Sumatera, Padang, dan Malaysia. Meski
begitu masing-masing daerah memiliki ciri khas dan penamaan tersendiri.
Jadi ada pengaruh makanya kalau kita lihat sekarang orang-orang Melayu, Sumatera, Padang, Malaysia, dan sebagainya ada yang menggunakan penutup kepala yang lancip,"
Passapu mulai dikenakan pada masa
Kerajaan Gowa yang ke-10. Saat itu Kerajaan Gowa dipimpin oleh Raja I
Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipallangga Ulaweng.
Untuk lebih jelasnya, silahkan baca di : https://www.detik.com/sulsel/berita/d-6823174/passapu-ikat-kepala-khas-masyarakat-sulsel-sejarah-simbol-dan-filosofi
IKAT KEPALA "SIGA"
Bahan : Kain
Jenis : Etnografi
No.Inventaris : 23522
Lembaga : Musium Nasional Indonesia
Tak lengkap rasanya bagi lelaki Sulawesi Tengah menghadiri upacara adat bila tanpa menggunakan Siga. Selain menambah kepercayaan diri, ikat kepala yang terbuat dari kulit kayu ini juga menjadi simbol kebesaran dan penanda badi mereka yang dianggap mampu mengayomi orang-orang disekitarnya. Bagi masyarakat adat suku Kaili, Kabupaten Donggala, Siga bukan cuman sekedar kain yang diikat di kepala, tetapi juga sebagai penanda status sosial penggunanya. Siga yang berwarna kuning dengan lipatan kedepan biasanya digunakan Totua Adat, warna biru dengan lipatan ke kanan dan ke kiri dikhususkan untuk para pejabat. Sementara warna merah dengan lipatan kebelakang dikhususkan bagi kalangan masyarakat biasa.
Ikat kepala Siga biasanya diberi motif-motif geometris. Tak lupa dilengkapi dengan hiasan sula ngkabaja, yaitu sulaman benang,yaitu sulaman benang keemasan atau perak yang dipercaya sebagai simbol suami yang sayang anak dan isterinya. Meskipun tidak lagi digunakan dalam busana sehari-hari, masyarakat dan Pemerintah Sulawesi Tengah masih menjadikan filosofi SIGA sebagai pegangan dalam kehidupan serta landasan budaya kerja di daerahnya.
Sumber : DISINI
۞
الحمد
لله
ربّ
العٰلمين
۞
-----------------------------------------------------------------------
0 comment:
Post a Comment