Suku Kaili Inde Gia yang menjadi
penduduk mayoritas Desa Wisolo pada awalnya adalah kelompok-kelompok kecil
berbasis keluarga yang bermukim di Boya-boya (kampung) yang tersebar di kaki
Gunung Wisolo dan aliran sungai di sekitarnya. Beberapa Boya itu adalah Boya
Tabaro dan Boya Parigi yang terletak di sekitar aliran Kuala Ombi (Sungai),
Boya Tompu yang terletak di seberang Kuala Sambo, sedangkan Boya Wisolo, Boya
Dele, Boya Barangga, Boya Kamande, dan Boya Daeruwa tersebar di kaki Gunung
Wisolo. Keluarga-keluarga dari tiap-tiap Boya itu saling berinteraksi dan
berkerabat serta memiliki petinggi yaitu Tetu’a Ngata yang biasa dipanggil
dengan sebutan Pue. Sehari-harinya, mereka mencari penghidupan dengan berburu
hewan, berladang berpindah, dan mengumpulkan hasil hutan. Pada saat berladang
berpindah, Masyarakat Adat Kaili Inde Gia mendirikan pondok-pondok di dekat
ladang/kebun yang disebut Lompu.
Masyarakat Adat Kaili Inde Gia
memiliki “Cerita Tanah Segenggam” yang berisikan pembabakan sejarah yang
diturunkan secara lisan kepada orang-orang tertentu. Adapun Pue yang paling
diingat oleh Masyarakat Adat Kaili Inde Gia bernama Mijupau yang hidup pada zaman
kolonial Belanda. Sedangkan ada dua Pue pendahulu sebelum Mijupau yang diyakini
dan masih diingat yakni Pue Sompolemba (zaman kolonial) dan Rimba (sebelum
zaman kolonial). Pada zaman Pue Sompolemba, Belanda mendirikan sebuah sekolah
rakyat pertama di wilayah yang saat ini dikenal sebagai Desa Bobo. Selain
mendirikan sekolah, Belanda juga menyebarkan ajaran Nasrani Bala Keselamatan
yang akhirnya menyesuaikan dengan hukum adat secara damai. Para Pemimpin
Kampung itu pada perkembangan sejarahnya dipilih oleh Madika (Raja), penguasa
sebuah wilayah yang lebih luas dan terdiri dari beberapa Ngata (kampung).
Selain Belanda, masyarakat Kaili Inde Gia juga berinteraksi dengan toke-toke
Cina untuk urusan perdagangan damar dan rotan.
Sebelum tahun 1960, Madika Bengge
Tai atau Bapak Datu Mamusu memindahkan Masyarakat Kaili Inde Gia dari boya-boya
lama ke sebuah wilayah dataran yang saat ini dikenal sebagai Desa Wisolo dengan
kepala kampung pertama yaitu Pue Mujipau. Penamaan Wisolo berasal dari nama
sebuah pohon yang amat besar yang dulu banyak tumbuh di wilayah gunung. Secara
bertahap anggota masyarakatt di boya-boya lama itu membangun rumah di wilayah
dataran hingga pada 1960 masyarakat berpindah menetap ke pemukiman baru
tersebut. Hanya 1-2 keluarga yang kini bertahan di beberapa Boya Lama seperti
di Tabaro dan Parigi. Selain itu, ada juga sebagian masyarakat Kaili Inde Gia
yang berpindah ke wilayah lain yaitu sebagian masyarakat Boya Parigi ke Desa
Poi dan sebagian masyarakat Boya Daeruwa ke dusun Kora di Desa Sejahtera yang
hidup berdampingan dengan masyarakat Kaili Da’a hingga kini. Sejak masa Pue
Mijupau, tercatat 14 Kepala Kampung/Desa Wisolo hingga tahun 2018.
Wilayah Desa Wisolo saat ini
ditempati juga oleh suku lain seperti Kaili Ledo, Jawa, Bugis, Poso, dan
lain-lain. Mereka tetap terikat dengan aturan dan hak sesuai adat Kaili Inde
Gia dengan penyesuaian-penyesuaian.
Hak atas tanah dan pengelolaan
Wilayah
Pembagian ruang menurut adat
Pantalu: Wilayah yang menjadi
kebun baik yang menetap maupun masih berpindah.
Ova: Wilayah hutan yang sudah
digarap dan ditinggalkan 1-2 tahun, biasanya ditumbuhi rumput dan tumbuhan liar
lainnya.
Pangale: Wilayah hutan yang sudah
digarap dan ditinggalkan 10 tahun ke atas, biasanya ditumbuhi pohon kayu.
Wana Nggiki: Dalam hutan rimba
yang belum dijamah dan dijaga untuk tempat berburu.
Ngata/Boya: Wilayah yang
dijadikan pemukiman.
Sistem Penguasaan &
Pengelolaan Wilayah
Kepemilikan tanah atau lahan di
Wilayah Adat Wisolo diperoleh dengan cara membuka lahan. Mereka yang pertama
membuka lahan adalah pemilik dari lahan tersebut. Kepemilikan lahan itu
diwariskan turun-temurun ke pada generasi berikutnya secara lisan.
Kepemilikan lahan itu tidak hanya
mencakup pada tanah tetapi juga tanaman di atasnya. Berbagai pohon dari tanaman
kebun tahunan seperti coklat, kemiri, dsb juga diwariskan turun temurun secara
lisan.
Konsep kepemilikan lahan di
Wilayah Adat Wisolo pada dasarnya tidak tertutup untuk anggota lain. Tiap-tiap
anggota masyarakat adat Wisolo dapat memperoleh akses untuk memanfaatkan lahan
anggota masyarakat adat lain melalui pemintaan izin (secara adat) kepada
pemilik asalnya.
Sumber : https://brwa.or.id/wa/view/NDJPc0l6aEhvbXc
0 comment:
Post a Comment